Jakarta, PR Politik – Ketika kata-kata meluncur tanpa kendali, ia dapat menjelma bara. Pernyataan Ahmad Sahroni, Eko Patrio, Nafa Urbach, dan perilaku sejumlah pejabat publik lain barangkali dimaksudkan sekadar komentar spontan. Namun, di ruang publik yang tegang dan rapuh, kata yang tampak sederhana bisa menjadi pemicu letupan. Tidak ada yang menyangka ucapan mereka berujung pada malapetaka: amuk massa yang menjalar cepat, tak ubahnya api yang merambat di padang daun kering.
Di sisi lain, respons negara pasca-tragedi Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek daring yang meregang nyawa oleh mobil Polisi, justru menambah bara. Kepolisian memang bergerak—permintaan maaf publik dilontarkan, pejabat mengunjungi keluarga korban—tetapi langkah itu tidak mampu meredakan emosi publik.
Ada jarak antara gesture simbolik dengan substansi keadilan. Publik melihat simpati itu sebatas basa-basi, sementara yang mereka tunggu adalah kejelasan: siapa yang salah, bagaimana proses hukum berjalan, dan apa jaminan tragedi serupa tidak terulang.
Komunikasi politik tidak pernah steril dari risiko. Dalam teori political public relations, kata dapat menjadi alat mengikat legitimasi, tetapi juga bisa menjadi senjata makan tuan. Ketika figur publik bicara tanpa kendali narasi, ia berpotensi menyinggung, memicu, bahkan mengundang kemarahan kolektif.
Tragedi Affan Kurniawan memperlihatkan bagaimana opini publik bekerja. Tragedi personal mendadak menjadi isu kolektif. Dari satu nyawa yang hilang, muncul gelombang solidaritas yang membesar, lalu berubah menjadi tekanan politik. Satu nyawa bisa menjadi percikan; publik ibarat hutan kering, mudah terbakar oleh amarah.
Pelajaran dari “Arab Spring” dan “Black Lives Matter”
Sejarah dunia memberikan pelajaran penting. Arab Spring, yang dimulai dari aksi seorang penjual buah bernama Mohamed Bouazizi di Tunisia, hanyalah percikan kecil: seorang pedagang merasa dipermalukan aparat. Namun, dari satu tubuh yang terbakar, api revolusi menjalar ke Mesir, Libya, Suriah, hingga mengguncang seluruh kawasan.
Di Amerika Serikat, kasus George Floyd memantik gerakan Black Lives Matter yang mengguncang dunia. Bedanya, aparat di sana belajar—meski tidak sempurna. Beberapa kepala kepolisian dan wali kota mengambil langkah simbolik: duduk bersimpuh, kaki kanan di depan, kaki kiri menekuk ke belakang, tanda penyesalan di hadapan publik. Itu bukan sekadar gestur seremonial, melainkan komunikasi empati yang mencoba menyentuh hati publik.
Indonesia bisa belajar. Empati penting, tetapi harus diikuti transparansi dan keadilan substantif. Jika tidak, maka permintaan maaf hanya akan dianggap retorika kosong.
Dalam ilmu PR politik, ada tiga dimensi penting saat krisis: kecepatan, empati, dan kredibilitas. Publik menilai negara dari seberapa cepat ia merespons. Keterlambatan menciptakan ruang kosong yang segera diisi rumor, hoaks, dan spekulasi. Kata-kata resmi pemerintah pun tidak cukup, dibutuhkan bahasa yang menyentuh.
Namun, seperti kasus Affan, empati simbolik saja tidak lagi memadai. Publik ingin bukti konkret. Dan kredibilitas hanya lahir dari konsistensi kata dan tindakan. Permintaan maaf tanpa proses hukum yang transparan hanya mempercepat hilangnya legitimasi.
Jalan keluar: Lebih dari simbol
Mengapa publik sulit percaya? Karena ada luka yang menjalar dari pengalaman-pengalaman sebelumnya. Tragedi demi tragedi sering direspons dengan pola sama: permintaan maaf, kunjungan pejabat, janji evaluasi. Namun, publik melihat siklus ini berulang tanpa perubahan sistemik. Akibatnya, setiap peristiwa baru langsung menyentuh saraf luka lama.
Ibarat daun kering, masyarakat hanya menunggu percikan kecil untuk terbakar. Kata-kata yang tidak hati-hati dari figur publik menjadi bensin yang menyiram luka. Dari titik ini, solusi tidak bisa lagi setengah hati.
Empati memang perlu, tetapi ia harus lebih dari sekadar simbol. Negara harus merawat komunikasi dengan publik secara berkelanjutan: forum dengar pendapat, dialog terbuka, dan kehadiran pejabat di ruang publik yang rawan. Empati yang konsisten akan mengikis jarak emosional antara rakyat dan negara.
Lalu, proses hukum harus dibuka setransparan mungkin. Update investigasi diumumkan secara berkala, melawan rumor sekaligus mengembalikan kepercayaan. Dan yang lebih mendasar, ada sistem yang perlu diperbaiki: reformasi SOP aparat, pelatihan komunikasi krisis, hingga mekanisme pengawasan independen yang berjalan nyata. Dengan cara ini, negara tidak sekadar memadamkan api, melainkan membersihkan lahan dari daun-daun kering yang siap terbakar.
Tragedi Affan Kurniawan menunjukkan bagaimana luka personal dapat menjalar menjadi luka kolektif. Kata dan sikap para pejabat publik, ditambah respons negara yang belum sepenuhnya menyentuh akar persoalan, membuat bara semakin menyala.
Sejarah Arab Spring dan Black Lives Matter menjadi cermin: percikan kecil bisa mengguncang negara bila direspons dengan abai. Simbol empati penting, tetapi keadilan substantif lebih penting. Masyarakat mungkin memaafkan tragedi, tetapi tidak akan memaafkan ketidakpekaan.
Dalam politik, sering kali yang menentukan bukan apa yang terjadi, melainkan bagaimana negara menanggapinya. Dan pada akhirnya, komunikasi bukan hanya tentang kata, melainkan tentang tindakan yang menjahit kembali kepercayaan publik.
Penulis: Heryadi Silvianto founder PR Politik Indonesia
Artikel ini telah tayang di kompas.com