Jakarta, PR Politik – Anggota Komisi V DPR RI dari Fraksi PKS, Rofik Hananto, angkat suara terkait tenggelamnya kapal motor penyeberangan (KMP) Tunu Pratama Jaya di Selat Bali. Peristiwa tragis ini terjadi pada Rabu (3/7/2025) pukul 23.35 WIB, setelah kapal sempat hilang kontak dengan Balai Pengelola Transportasi Darat (BPTD). Menurut Rofik, insiden tersebut bukan sekadar bencana laut biasa, melainkan cerminan nyata dari lemahnya sistem pengawasan keselamatan pelayaran nasional.
Ia menyebutkan, tragedi itu berlangsung cepat dan nyaris tanpa prosedur keselamatan yang semestinya. Penumpang tidak mendapat pengarahan keselamatan (safety induction), tidak mengetahui lokasi jaket pelampung, jalur evakuasi darurat, ataupun sekoci. Bahkan, sebagian besar korban selamat hanya karena menemukan jaket pelampung tercecer di dek kapal.
“Hal ini jelas melanggar Pasal 117 UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, yang masih berlaku meski sudah mengalami sebagian revisi melalui UU No. 66 Tahun 2024. Keselamatan adalah harga mati dalam setiap angkutan penyeberangan,” ujar Rofik.
Rofik juga mengkritik ketidaksesuaian jumlah penumpang dengan data manifes resmi. Ia menyatakan bahwa terdapat penumpang yang tidak tercatat, sebuah pelanggaran serius yang menyulitkan identifikasi dan evakuasi korban, serta mengindikasikan potensi kelebihan muatan.
“Ini adalah pelanggaran mutlak terhadap Pasal 137 UU No. 17 Tahun 2008, yang menegaskan bahwa hanya penumpang yang terdaftar dalam manifes yang sah untuk diangkut. Jika penumpang tidak terdaftar, dan terjadi kecelakaan, maka operator wajib bertanggung jawab secara hukum dan memberikan ganti rugi,” tegasnya.
Politisi PKS itu menilai peristiwa tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya sebagai kejadian berulang. Ia menyinggung insiden serupa yang pernah terjadi pada KMP Yunicee tahun 2021, di mana ditemukan kelebihan muatan, manifes tidak akurat, dan minimnya alat keselamatan seperti sekoci yang hanya tersedia satu dan dalam kondisi karet.
“Ini bukan yang pertama, dan jika tidak ada perbaikan sistemik, ini juga berpotensi bukan yang terakhir. Pengawasan yang lemah, birokrasi yang permisif, dan operator yang abai telah menciptakan rantai kelalaian yang berujung pada jatuhnya korban jiwa,” ungkapnya.
Rofik mendesak dilakukannya investigasi menyeluruh oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) dan Kementerian Perhubungan. Ia menekankan pentingnya penyelidikan atas penyebab teknis tenggelamnya kapal, termasuk kemungkinan kerusakan struktural atau kelebihan beban. Ia juga mengusulkan audit nasional terhadap seluruh moda transportasi penyeberangan.
“Termasuk digitalisasi dan integrasi manifes penumpang dengan sistem identitas nasional,” tegasnya.
Lebih lanjut, ia menekankan perlunya penegakan hukum tanpa kompromi kepada semua pihak yang terbukti lalai, mulai dari syahbandar, nahkoda, hingga operator kapal. Ia juga mendorong revisi aturan teknis turunan dari UU No. 66 Tahun 2024, agar pengarahan keselamatan (safety induction) menjadi kewajiban standar yang diawasi secara langsung sebelum kapal diberangkatkan.
“Kejadian seperti ini perlu adanya penegakan hukum tanpa kompromi terhadap pihak-pihak yang lalai, termasuk syahbandar, nahkoda, operator kapal dan juga merevisi aturan teknis turunan UU No. 66 Tahun 2024, agar safety induction menjadi kewajiban standar yang diawasi langsung sebelum kapal diberangkatkan,” tutup Rofik.
Sumber: fraksi.pks.id