Satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto ditandai dengan retorika kebersamaan yang kuat, namun masih menyisakan celah pada aspek koordinasi dan komunikasi antar-lembaga. Pidato reflektifnya di Sidang Kabinet Paripurna (20/10/2025) menunjukkan semangat nasionalisme kolektif yang kental, tetapi belum menjawab sepenuhnya tantangan tata kelola pemerintahan yang efektif.

“Kita” paling Dominan ‘Ekonomi” paling Sedikit
Hasil analisis PR Politik Indonesia terhadap pidato tersebut menunjukkan bahwa kata “kita” muncul sebanyak 369 kali, jauh lebih banyak dibandingkan kata “saya” (135 kali). Dominasi kata “kita” menandakan upaya membangun narasi kebersamaan dan solidaritas nasional — sebuah ciri khas komunikasi politik Prabowo yang menekankan kesatuan sebagai kekuatan bangsa.
Namun, di sisi lain, absennya kata “koordinasi” dan “komunikasi” dalam keseluruhan naskah pidato mengindikasikan jarak antara retorika persatuan dan praktik kolaborasi pemerintahan. Pola ini memperlihatkan kecenderungan komunikasi top-down yang mengandalkan arahan langsung presiden ketimbang sinergi lintas sektor.

Isu yang Disorot dan yang Terlewat
Pidato setebal hampir satu jam itu memprioritaskan enam isu utama: pendidikan dan SDM (29,7%), program Makan Bergizi Gratis (21,8%), ekonomi dan investasi (18,7%), ketahanan pangan (15,5%), hukum dan pertahanan (10,2%), serta lingkungan (4,1%).
Isu-isu ini menggambarkan orientasi pembangunan manusia dan ketahanan nasional. Namun, beberapa sektor strategis justru luput dari pembahasan, seperti reformasi birokrasi, energi terbarukan, hak asasi manusia, kebebasan sipil, serta proyek Ibu Kota Negara (IKN). Padahal, aspek-aspek tersebut menjadi indikator penting arah kebijakan jangka panjang.

Komunikasi Pemerintah Masih Lemah
Dalam wawancara pada April 2025, Prabowo sendiri mengakui bahwa strategi komunikasi pemerintah merupakan salah satu titik lemah di awal masa jabatannya. Pengakuan itu kini menemukan relevansi: tanpa penguatan komunikasi lintas lembaga, narasi besar seperti “Makan Bergizi Gratis” atau “Sekolah Rakyat” berisiko menjadi simbolik semata.
Keterbatasan komunikasi publik juga berdampak pada persepsi kinerja. Retorika yang mengedepankan “kita” menjadi kuat secara simbolik, tetapi lemah dalam implementasi jika tidak diikuti dengan koordinasi konkret antar kementerian.
Tantangan Komunikasi Prabowo
Gaya komunikasi Prabowo merefleksikan kepemimpinan yang tegas dan direktif (commanding leadership). Pola ini efektif untuk konsolidasi awal pemerintahan, tetapi berpotensi menimbulkan hambatan dalam membangun partisipasi birokrasi yang otonom dan kolaboratif.
Tantangan ke depan adalah menjadikan komunikasi publik bukan sekadar alat legitimasi, melainkan instrumen koordinasi pemerintahan. Kinerja dan pesan publik harus saling menguatkan agar tidak berhenti di tataran retorika.















