Komunikasi Pejabat di Media Sosial dan Bayang-Bayang “Algorithmic White Branding”

pakar Ilmu Komunikasi dari Carleton University, Canada Prof. Merlyna Lim pada kuliah umum FISIP Universitas Diponegoro, Semarang, Rabu (7/5/2025)

Semarang, PR Politik – Dalam beberapa tahun terakhir, semakin banyak pejabat publik yang memanfaatkan media sosial (medsos) sebagai sarana komunikasi langsung dengan masyarakat. Salah satu yang terbaru adalah Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang aktif menggunakan berbagai platform medsos untuk menyampaikan aktivitas kepemimpinannya.

Pakar Komunikasi Politik dari Universitas Brawijaya, Verdy Firmanto, menilai strategi komunikasi yang dijalankan Dedi cukup berhasil. Menurut Verdy, keberhasilan ini karena pola komunikasi yang digunakan sesuai dengan segmentasi masyarakat Jawa Barat yang didominasi generasi muda.

“Keberhasilan komunikasi politik bergantung pada relevansi saluran dan pesan dengan karakter publiknya. Langkah Dedi bisa dinilai sebagai adaptasi strategis yang kontekstual,” ujar Verdy dalam laporan CNN Indonesia, Rabu (30/4/2025).

Popularitas Dedi Mulyadi di media sosial juga menunjukkan adanya pergeseran pola komunikasi pejabat publik yang kini lebih mengandalkan platform pribadi untuk membangun narasi, citra, dan mengelola persepsi secara langsung tanpa perantara.

Namun, di sisi lain, pakar Ilmu Komunikasi dari Carleton University, Kanada, Prof. Merlyna Lim, memberi catatan penting terkait penggunaan media sosial. Dalam kuliah umumnya berjudul “Social Media and Politics in Southeast Asia” di Universitas Diponegoro, Semarang, Rabu (7/5/2025), Merlyna mengingatkan bahwa media sosial tidak selalu selaras dengan kebebasan berpikir dan kemajuan demokrasi.

“Sejak awal medsos diciptakan untuk kapitalisme dengan monetisasi data dan dominasi pasar,” jelas Merlyna dalam keterangan resmi.

Ia menambahkan, algoritma media sosial tidak mengajarkan kritis, melainkan menekankan pada emosi dan rasa. Kondisi ini dapat menimbulkan polarisasi, di mana pengguna mudah merasa sepaham dengan orang lain di medsos tanpa benar-benar saling mengenal.

Dalam ranah komunikasi politik, Merlyna mengingatkan bahaya praktik yang disebutnya sebagai “algorithmic white branding” — yaitu manipulasi pencitraan dengan memanfaatkan emosi publik untuk mencuci citra tokoh politik.

Baca Juga:  Tantangan dan Peluang PR Politik di Era Digital, Kokok Herdhianto: Masa Depan akan Dihadapkan pada 'Perang Teori' dengan Generasi Melek Teknologi

“Para political figure dan kandidat yang punya masa lalu suram, abu-abu, gelap bahkan berdarah, kemudian diciptakan secara baru dan ini ternyata efektif,” katanya.

Sementara itu, Kepala Ombudsman Perwakilan Jawa Barat, Dan Satriana, memberi pandangan kritis mengenai komunikasi media sosial yang dilakukan Dedi Mulyadi. Menurutnya, penyampaian informasi sering tidak lengkap sehingga menimbulkan pro dan kontra di masyarakat, khususnya terkait kebijakan pengiriman murid ke barak militer.

“Sebagian besar informasi program diperoleh masyarakat melalui pernyataan lisan Gubernur Jawa Barat di berbagai media sosial yang tentunya tidak dapat memuat informasi lengkap,” ujar Dan Satriana melalui pesan singkat dari Bandung, Rabu (14/5/2025), sebagaimana dikutip ANTARA News.

Fenomena ini menggambarkan bahwa meskipun medsos efektif sebagai saluran komunikasi langsung, penting bagi pejabat publik untuk memastikan transparansi dan kelengkapan informasi agar tidak menimbulkan salah paham di masyarakat.

 

Sumber: antara

Bagikan:

Berita Terbaru

Artikel Lainnya

Infografis Terbaru