Jakarta, PR Politik – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menindaklanjuti kasus 565 Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di Myanmar pada Maret 2025 lalu. Dari jumlah tersebut, 109 adalah perempuan.
Asisten Deputi Penyediaan Layanan Perempuan Korban Kekerasan Kemen PPPA, Ratna Oeni Cholifah, menyatakan bahwa Kemen PPPA telah melakukan asesmen terhadap 109 perempuan korban TPPO dan merujuk mereka ke daerah asal masing-masing untuk memastikan layanan lanjutan terpenuhi.
“Kami hadir untuk berdiskusi dengan Satgas TPPO daerah, khususnya Polda sebagai ketua satgas, untuk mendengar praktik-praktik baik pencegahan dan penanganan TPPO yang telah dijalankan,”ujarRatna dalam kunjungan kerjanya di Sambas pada 10 Juli, ia berdiskusi dengan Satgas TPPO daerah, khususnya Polda, untuk mempelajari praktik pencegahan dan penanganan TPPO yang telah berjalan.
Ratna Oeni menjelaskan bahwa beberapa dari 109 perempuan korban berasal dari Kalimantan Barat, termasuk Kabupaten Sambas, yang merupakan salah satu penyumbang PMI bermasalah tertinggi. Hal ini disebabkan posisinya yang berbatasan langsung dengan negara tetangga dan tingginya mobilitas warga lintas batas. Ia menyoroti bahwa di wilayah perbatasan seperti Sambas, banyak masyarakat yang belum memahami prosedur migrasi yang aman. Oleh karena itu, diperlukan pelatihan berkelanjutan bagi korban maupun calon migran agar tidak terjerat migrasi non-prosedural lagi. Kemen PPPA memberikan perhatian serius pada perlindungan dan pemenuhan hak perempuan korban, terutama dalam layanan pasca-pemulangan.
Hasil koordinasi Kemen PPPA dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Provinsi Kalimantan Barat mengidentifikasi beberapa faktor utama penyebab maraknya TPPO di Kalimantan Barat, antara lain kemiskinan, diskriminasi gender, terbatasnya lapangan pekerjaan, serta anggapan bahwa bekerja di luar negeri lebih bergengsi. Selain itu, pernikahan anak dengan warga negara asing (terutama dari Tiongkok dan Taiwan) masih banyak ditemukan di beberapa daerah seperti Kota Singkawang. Rendahnya kesadaran akan pendidikan juga memperburuk kerentanan perempuan terhadap perdagangan orang.
Sebagai bagian dari upaya perlindungan dan pencegahan, Kemen PPPA mengawal DP3A Provinsi Kalimantan Barat untuk berkolaborasi dengan BP3MI Kalimantan Barat dalam memetakan daerah-daerah penyumbang kasus TPPO dan PMI non-prosedural. Revisi struktur Gugus Tugas TPPO tingkat kabupaten/kota juga sedang dilakukan. Kemen PPPA mendorong penguatan koordinasi lintas sektor, khususnya di wilayah perbatasan, serta mendukung rencana sosialisasi isu pengantin pesanan di Kota Singkawang.
Kemen PPPA mengimbau masyarakat untuk selalu waspada dan mengajak semua perempuan yang mengalami kekerasan, serta seluruh masyarakat yang melihat atau mengetahui kasus kekerasan, untuk berani melapor. Laporan dapat disampaikan melalui call center Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 atau WhatsApp 08111 129 129.
sumber : KemenPPPA RI
 
															 
											














